OPINI - Dalam konteks pilpres 2024, hiruk-pikuk dan polarisasi politik masyarakat Indonesia hari ini berpusat pada dua tokoh antagonistik ini: Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan.
Sengaja saya mengabaikan Jokowi dalam hal ini karena yang menjadi otak rezim adalah Luhut. Ini tidak berarti Jokowi bisa cuci tangan terkait kebijakan-kebijakan Luhut yang kontroversial. Juga berbagai upaya menjegal Anies menjadi peserta pilpres.
Toh, Jokowi berperan sebagai pemberi legitimasi atas semua gagasan dan tindakan pemerintah, yang notabene dirancang Luhut. Ini terjadi karena Jokowi adalah presiden karbitan, yang diorbitkan oligarki ekonomi dan oligarki politik. Luhut-lah orang yang punya visi, yang berakibat pada ketergantungan Jokowi padanya. Secara alami, pihak inferior akan tunduk pada pihak superior.
Dalam polarisasi masyarakat ini, saya juga mengabaikan peran elite politik lain, khususnya para aspiran capres, karena mereka semua hanyalah penari yang menari mengikuti gendang yang ditabuh Luhut. Dengan cerdik, Luhut memanfaatkan elite parpol yang punya masalah hukum untuk menjalankan koreografi yang diciptakannya. Lebih dari itu, mereka hanyalah wayang-wayang Jokowi berwajah Luhut.
Namun, wibawa Luhut ditantang Anies, satu-satunya aspiran capres yang dipandang sebagai pembangkang terhadap rancang-bangun program pembangunan pemerintah yang disusunnya. Dus, Luhut melambangkan kekuatan status quo, Anies simbol kekuatan pro-perubahan. Tak heran, Luhut didukung Cina, Anies disukai Barat.
Kedua tokoh datang dari generasi berbeda. Luhut disusui Orde Baru, Anies dibesarkan Orde Reformasidengan rekam jejak sebagai oposan rezim Soeharto. Pendidikan militer yang ditempuh Luhut, yang tugas pokoknya adalah membunuh lawan, membuatnya cenderung mengabaikan prosedur dan konsensus — yang prosesnya bertele-tele — dalam membuat public policy. Itu terlihat dari produk-produk hukum pemerintah yang menerabas konstitusi.
Anies adalah sarjana ekonomi dan politik tamatan AS yang terlatih melihat setiap fenomena sosial dengan “pandangan mata burung”. Artinya, dalam membuat public policy, ia mempertimbangkan semua aspek yang relevan dengan melibatkan semua stake holders guna melahirkan kebijakan yang matang.
Perlu juga dicatat bahwa Luhut adalah pebisnis besar, sedangkan Anies adalah aktivis sosial. Ini membuat keputusan Luhut hanya berdasarkan pada pertimbangan untung-rugi. Sementara kebijakan Anies berorientasi pada kemaslahatan sosial.
Baca juga:
DPRD Trenggalek Sahkan APBD Perubahan 2022
|
Perbedaan keduanya juga tak bisa dipisahkan dari latar sosial-budaya yang membesarkan mereka. Menimbang pandangan politik dan ekonominya, yang diimplementasikan rezim Jokowi, Luhut secara sempurna mewakili Orde Baru. Anies, yang tak jauh-jauh amat dari generasi milenial, menghadirkan paradigma baru yang dinamis.
Pertentangan Luhut-Anies sudah terlihat sejak awal Anies memimpin Jakarta. Misalnya, dalam kasus penghentian proyek reklamasi di Teluk Jakarta. Luhut mewakili oligarki yang menghendaki proyek dilanjutkan. Sebaliknya, Anies bergeming, karena proyek ini mengancam lingkungan dan nafkah nelayan kecil. Contoh lain, beberapa kali Luhut membatalkan kebijakan Anies terkait penanggulangan epidemi covid-19.
Dari latar belakang perbedaan sosiologis dan ideologis tersebut, tak heran kalau Luhut kurang menghargai demokrasi dan perbedaan pendapat, serta mengutamakan pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan semua aspek dan mekanisme tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Maka kita menyaksikan pemerintah memanjakan oligarki dengan mengabaikan hak buruh melalui UU Cipta Kerja yang keabsahannya di tolak Mahkamah Konstitusi. Rezim juga mencobloskan oposisi kedalam penjara, menjustifikasi kekerasan negara terhadap anak bangsa, dan menghalang-halangi munculnya pemimpin tandingan yang dipandang mengancam kelangsungan hidup status quo. Ini sama persis dengan kelakuan rezim Soeharto.
Sebaliknya, ketika memimpin Jakarta, Anies memberi contoh tentang good governance. Artinya, kemajuan ekonomi tetap bisa dicapai tanpa harus berpegang pada trilogi pembangunan Orba yang kaku: stabilitas yang ditegakkan dengan penindasan, pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan konglomerat (trickle down effect), dan pendistribusian kue ekonomi yang tentu saja tidak merata.
Anies membuktikan bahwa pembangunan berbasis humanistik, berkeadilan, dan kolaboratif, justru akan membuahkan hasil yang berkualitas: yang kecil dapat membesar, yang besar tidak mengecil. Dan berbeda dengan Luhut, Anies menghadapi kritisisme secara arif, menciptakan stabilitas Jakarta melalui narasi persatuan yang tercipta melalui kesamaan tujuan semua warga.
Di bawah kepemimpinannya, angka kemiskinan Jakarta turun signifikan. Pertumbuhan ekonominya termasuk yang tertinggi di antara 34 provinsi. Dan Anies mendistribusikan hasil-hasil material maupun nonmaterial pembangunan kepada semua secara merata.
Komunitas-komunitas agama minoritas yang dulu tak memilihnya, dan awalnya meragukan kualitas kepemimpinannya, pada akhirnya bangkit mengapresiasi kebijakan-kebijakannya. Memang masih banyak yang harus dikerjakan untuk menciptakan Jakarta yang lebih baik, nyaman, dan indah. Tapi apa yang sudah dicapai dalam waktu relatif pendek menggambarkan keberhasilan konsep pembangunan alternatif dan model kepemimpinan baru yang ditawarkan Anies cukup berhasil. Terbukti hasil jajak pendapat lembaga-lembaga survey yang kredibel menunjukkan 83 persen warga menyatakan puas pada kinerja Pemprov DKI.
Kembali ke konteks pilpres, terkesan kuat Luhut masih berusaha agar gagasan memperpanjang masa jabatan presiden atau Jokowi tiga periode dapat direalisasikan. Karena gagasan ini ditentang publik, kini dicurigai ia bikin skenario alternatif: menyiapkan capres yang akan meneruskan kebijakan dan program pembangunan pemerintah. Karena berpotensi menggantikan Jokowi, Anies dianggap musuh besar.
Maka, bukan tidak mungkin orkestrasi tentang Anies mengusung politik identitas, yang akan menegakkan khilafah, bersumber dari Luhut untuk menakut-nakuti rakyat. Ini sama persis dengan strategi Orba yang setiap memasuki tahun politik, isu bahaya laten PKI dan DI/TII diamplifikasi untuk mengintimidasi rakyat.
Pada 10 Februari lalu, sambil mengungkap harapannya agar presiden terpilih 2024 — kalau pilpres jadi diselenggarakan — melanjutkan kebijakan dan capaian yang telah ditorehkan Jokowi (baca: Luhut), Menko Marves itu menyatakan bodoh presiden yang tidak melakukannya. Pernyataan ini menegaskan tiga hal.
Pertama, ia mengklaim dirinya pintar. Toh, apa yang dipandang sebagai capaian rezim Jokowi adalah hasil dari buah pikiran dan kebijakannya. “Presiden berikut tak perlu malu meneruskan periode sebelumnya, ” katanya.
Artinya, dia berasumsi presiden berikut tidak mungkin sepintar dia dan tidak mungkin pula menghasilkan kebijakan yang lebih baik daripada dia, sehingga wajar kalau mengadopsi rancangan pembangunan yang dibuatnya. Memang melihat kapasitas aspiran capres yang ada, di luar Anies, klaim Luhut ada benarnya.
Kedua, ia mengklaim rezim Jokowi berhasil secara gilang-gemilang. Menurutnya, pemerintah telah menciptakan ekosistem yang baik. Ini merupakan “gebrakan baru” dalam sejarah Indonesia, katanya. Salah satu ekosistem yang dibangun adalah hilirisasi industri, yang ia klaim akan memberikan nilai tambah yang besar bagi perekonomian Indonesia.
Ketiga, secara tak langsung ia menganjurkan publik untuk tidak memilih Anies, karena Anies sebagai anti-tesa Jokowi adalah orang bodoh. Tentu saja pernyataan Luhut ini gegabah dan arogan. Toh, orang bisa dengan mudah membuktikan kemunduran Indonesia di hampir semua lini kehidupan bernegara dibawah “kepemimpinan Luhut.”
Sebut saja utang negara yang terus menggelembung, pengangguran dan kemiskinan meluas akibat banyak perusahaan manufaktur gulung tikar dan daya beli masyarakat anjlok. Mengenai keberhasilan hilirisasi industri sebagai salah satu ekosistem yang diklaim Luhut, anggota Komisi VII DPR mengungkapkan ketidakyakinannya atas program hilirisasi nikel dan mineral lainnya. Ekonom Faisal Basri malah mengecam kebijakan itu karena hanya memberi keuntungan pada Cina, oligarki, sementara negara tidak mendapat apa-apa.
Indeks pembangunan manusia, korupsi, dan demokrasi anjlok. Penegakan HAM dan hukum juga memprihatinkan. Dan pembangunan infrastruktur yang massif ternyata melahirkan banyak masalah. Di antaranya, pertama, pembayaran bunga utang untuk membiayai infrastruktur saja sudah mencapai hampir Rp 500 triliun setahun, yang dibayar melalui perluasan pajak hingga ke rakyat kecil dan menambah utang baru hanya untuk membayar bunganya saja.
Kedua, banyak infrastruktur yang mangkrak atau disfungsi. Ketiga, infrastruktur yang dimaksud untuk membangun konektivitas guna meningkatkan daya saing dan kinerja ekonomi bangsa tidak terbukti.
Maka, klaim Luhut tentang program pembangunan pemerintah yang dikendalikannya sebagai “gebrakan baru dalam sejarah bangsa” doesn’t make sense. Memang itu bukan gebrakan baru, karena semua itu hanyalah copy paste konsep pembangunanisme (developmentalism) Orba, yang berupa sistem ekonomi ekstraktif yang memanjakan oligarki. Dengan demikian, pantaskah pengganti Jokowi melanjutkan blue print pembangunan yang dirancang Luhut? Bodoh kalau ada yang melanjutkannya.
Sekarang mari kita tengok konsep dan paradigma pembangunan Anies yang telah ia wujudkan di Jakarta. Melalui tulisannya yang bagus di Kompas, 17 Februari, di bawah judul “Meluruskan Jalan, Menghadirkan Keadilan”, kita dapat menangkap pesannya bahwa ia melihat ada kesalahan fundamental pemerintah dalam menjalankan pembangunan selama ini sehingga perlu diluruskan demi mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Anies menegaskan, pemerintah harus melayani kebutuhan rakyat secara adil tanpa memperhitungkan untung-rugi. Menurutnya, “Republik ini berdiri dengan janji menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tanpa kecuali.” Karena itu, ia memanifestasikan keadilan sosial melalui gagasan yang konkret, yang bisa meluruskan jalan bagi masa depan republik ini.
Ia juga mendorong penguatan demokrasi melalui beberapa prinsip: menjalankan amanah reformasi, menghadirkan kesetaraan hukum, mendorong masyarakat sipil yang kritis, menguatkan landasan demokrasi elektoral. Ia mengingatkan, demokrasi adalah sebuah jalan panjang yang harus kita rawat bersama.
Salah besar jika kita memandang demokrasi sebagai sesuatu yang bisa tumbuh dan bertahan begitu saja. Jalan demokrasi bukan jalan pintas pembangunan. Demokrasi adalah ikhtiar mewujudkan manusia yang bermartabat. “Manusia yang merdeka berpikir, berpendapat, dan menentukan tindakan.”
Dari aspek pertumbuhan ekonomi, Anies mengkritik cara pandang kita — mungkin terutama cara pandang Luhut — yang hanya berhenti pada angka-angka makro, yang diibaratkan potret dua dimensi. Menunjukkan yang dipermukaan, tapi tak selalu menggambarkan kedalaman dampak yang dirasakan warga.
Karena itu, yang didorong Anies adalah pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Bukan sekadar dilihat dari aspek makro, tapi dampaknya bisa menjangkau semuanya. Semakin merata, semakin tinggi pertumbuhannya. Tentu saja pemikiran pembangunan Anies berbeda dengan Luhut. Sebenarnya pemikiran dan kebijakan Anies inilah yang mestinya dilihat Luhut sebagai “gebrakan baru dalam sejarah Indonesia.”
Pertarungan Luhut dan Anies akan berakhir di kotak suara pada 14 Februari. Siapakah pemenangnya, Orde Baru atau Orde Reformasi? Rakyat yang menentukan. Melihat sambutan massif rakyat di mana pun Anies hadir menggambarkan rakyat menghendaki perubahan. Walakin, Luhut sangat powerful, yang mampu mengubah apa saja yang dia kehendaki, termasuk mengubah harapan rakyat menjadi mimpi buruk. Wallahu ‘alam bishshawab!
Tangsel, 19 Februari 2023
Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)